Rabu, 08 Januari 2014

Cerita Pendek: Hadiah Ulang Tahun


Pukul 3 siang. Tenda-tenda peserta Kemah Bakti Saka Wanabakti di Cemorolawang, tepian gunung Bromo sudah berjajar rapi. Kulihat teman-teman mulai berdatangan di lapangan upacara.
Di depan, kulihat Gunung Bromo mengepulkan asap dengan santainya. Jadi teringat pak yanto, salah seorang dosen aku yang terus-menerus mengepulkan asap rokok saat mengajar.
“Merokok dapat merusak kesehatan”, kata beliau suatu saat sebelum mulai perkuliahan.
“Merokok dapat mengurangi usia”, kata beliau pada kesempatan berikutnya.
“Merokok dapat menyebabkan kanker”, kata beliau pada kesempatan lain.
“Merokok dapat mengakibatkan begini, dapat menyebabkan begitu”, kata beliau pada pertemuan yang lain. Serunya, beliau menyampaikan betapa bahayanya akibat merokok sambil sedat-sedut menghisap rokoknya.
“Bronx, awakmu engkok bengi ulang tahun yo…” (Bronx, kamu nanti malam ulang tahun ya..), suara kang Sumo memporakporandakan lamunanku.
Namaku sebenarnya bukan itu, namun teman-teman lebih suka memanggilku kak De Bronk. Waktu itu memang lagi ramai-ramainya film Escape from The Bronx dari Itali yang dibintangi oleh Mark Gregory. Teman lain tentu saja juga punya alias: kang Sumo, Giyah, Pariyem, Giyo, Cak Ri, Blek, Gentong, Sukram, Catam, Carly, dll.
“Ulang tahunku 18 Juni kang dudu 24 Maret”, jawabku.
“Dijokno engkok bengi ae, iki hadiahe”, (diajukan nanti malam aja, ini hadiahnya) kata kang Sumo sambil menyodorkan uang 300 perak.
Saat itu, 300 perak masih bisa untuk nonton bioskop Kelud dua kali, itupun masih ada kembalian 50 perak, atau untuk naik bemo dua kali, juga ada kembalian 50 perak, atau satu piring nasi campur bonus teh anget.
“Okelah kalo begitu”, jawabku pasrah.
Upacara pembukaan pun dimulai, aku jadi pemimpin upacara.

*******************************************************
Malamnya, sebelum materi tentang “Taman Nasional Bromo Tengger Semeru” dimulai, kang Suma memulai rencananya.
“ Tadi salah seorang warga jalan Muntilan ada yang lapor, sebelum berangkat ke sini, ada di antara kalian yang mencuri mangga di depan rumahnya”, suara kang Sumo membungkam omongan peserta yang udah ngumpul di aula.
“Sebelum saya tunjuk, silakan maju ke depan!”, lanjutnya. Nadanya kian menggelegar.
Tentu saja gak ada yang maju, lha memang gak ada yang nyuri mangga.
“Bronx, sini kamu!!”, teriak kang Sumo.
“Kenapa kamu tidak maju dari tadi?!”, teriaknya lagi.
“Siap, bukan saya pencurinya”, jawabku lantang.
“Tolong ambilkan cariernya De Bronx”, pinta kang Sumo pada salah seorang anak buahku.
 “Bongkar dan keluarkan semua isinya”, lanjutnya, setelah carierku tiba.
Jadi ingat iklan Top kopi, “Bongkar kebiasaan lama…”.
Gila, ada 3 buah mangga masak pohon yang sembunyi di antara barang barang pribadiku.
“Ini mangga siapa!!!”, kang Sumo teriak lagi.
“Siap, tidak tahu!!!!, teriakku lebih keras dari kang Sumo.
“Bohong, mana ada maling ngaku!!!!!”, teriak kang Sumo lebih keras lagi.
“Kamu telah mencoreng nama baik pramuka. Pulang kamu sekarang!!!”, kang Sumo melanjutkan.
“Siap, tidak mau, aku tidak mencuri mangga!!!!!”, aku menentang perintahnya. 
Malam-malam begini, pulang sendiri sama saja dengan cari mati.
“Seret dan paksa dia keluar!!!!!”, teriak kang Sumo. Suaranya menggelegar, kulihat matanya membara menahan amarah.
Beberapa anak laki-laki, salah satunya anak buahku menyeret aku dengan paksa.
“Anak buahku jangan ikut-ikut”, teriakku.
“Gak peduli. Ketua gak genah emang perlu dieret-eret”, jawab anak buahku tadi.
 Sesampainya di halaman depan, aku menjatuhkan diri, pura-pura pingsan. Kudengar teriakan kaget peserta. Aku digotong rame-rame ke kantor sebelah.
Pak Bagyo dan pak Gatot, pegawai perhutani Probolinggo yang akan menyampaikan materi, menawariku kopi anget. Asyik pikirku.
Di aula sayup-sayup terdengar lagu selamat ulang tahun. Aku, pak Bagyo, pak Gatot, dan teman-teman yang tadi menggotongku dan sempat misuh-misuh begitu tahu acara tadi bohongan, kembali ke aula. Kulihat ada 4 atau 5 anggota perempuan masih mingseg-mingseg habis menangis.
Semua yang hadir di aula menyalamiku.
“Selamat Ulang Tahun kak Bronx”.
***************************************************
Turun dari Bromo, aku sengaja mengambil jalan berbeda dengan rombongan. Kadang menanjak, menurun, beberapa pohon edelwis dan rumput liar aku lewati dengan riang gembira. Seorang perempuan cantik, putih, manis, rambut dikepang dua, yang tadi malam menangis, mengikuti setiap langkahku. Aku berlari kecil, dia juga begitu. Aku jalan perlahan, diapun begitu. Aku menatapnya, diapun menatapku.
“Inikah hadiah ulang tahun untukku?”, “Inikah calon pendampingku?”, “Inikah…..?”, “Inikah…..?”.
Aku tak tahu. Aku tak peduli. Kami terus berlari, berlari dan berlari, bagai sepasang merpati, yang tak pernah ingkar janji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIABET PADA KAKI HARUSKAH DIAMPUTASI?

                  Amputasi adalah salah satu pilihan tata laksana pada kasus kaki diabetes. Namun, keputusan untuk melakukan amputasi tidak ...