Kamis, 02 Agustus 2012
SAJADAH
Adzan Isya' baru saja selesai dikumandangkan. Rombongan kami, beberapa guru dari Jawa di SMA Negeri Sila, Bima, NTB, ibu kost, dan Ida (murid, putrinya tetangga Ibu kost) siap berangkat ke masjid. Hanya ibunya Ida yang sejak tadi dipanggil-panggil tak segera muncul. Sesekali terdengar barang jatuh dan langkah tergopoh-gopoh dari rumah beliau. Beberapa saat kemudian, akhirnya beliau muncul juga. Kami berangkat ke masjid besar, 100 meter dari rumah kost kami.
Di masjid sudah banyak jamaah yang datang. Aku mengambil tempat sebelah kiri, tempat jamaah yang biasanya sholat tarawih 20 rokat. Sedang posisi kanan, dekat pintu keluar khusus jamaah 8 rokaat. Benar-benar masjid yang menghormati dan menghargai perbedaan.
Baru saja aku usai sholat tahiyat masjid, terdengan suara tawa dari jamaah putri di belakang, tentu saja mereka tak terlihat karena terhalang kain berwarna putih, sekat antara jamah pria dan wanita. Ada suara beberapa ibu yang bercakap dalam bahasa asli mereka (Bima). Tidak berselang lama, bapak-bapak pun ikut juga tertawa.
"Ada apa pak", tanyaku pada bapak di sebelahku.
"Blaa... bla... blaaa. blaa...", jawab beliau dalam bahasa Bima.
Aku yakin jawaban beliau sangat jelas, hanya saja karena aku baru bisa dua kata dalam bahasa Bima, yaitu ngaha (makan), dan maru (tidur), jadilah aku gak ngerti apa yang beliau omongkan. Untuk menjaga perasaan beliau sekaligus sebagai solidaritas sesama muslim Indonesia, akupun ikut tertawa, meski gak tahu apa yang ditertawakan. He.. he... he...
"Tadi kenapa bu Kamla, dari jamaah putri ada suara tertawa dan diikuti jamaah putra", tanyaku pada ibu kos sepulang dari tarawih.
"Itu pak Khoirul, karena tadi kita panggil-panggil, ibunya Ida jadi tergesa-gesa. Setelah ambil sajadah, langsung aja dia keluar dan berangkat sama kita." jawabnya.
"Kan gak ada yang salah", selaku.
"Yang dihamparkan di masjid tadi ternyata bukan sajadah, tapi celana panjang hitam suaminya yang biasa dipakai ke sawah..."
"Haaaa.... haaa.. haaa..... " aku tertawa dengan kerasnya.
"Haaaa.... haaa.. haaa..... " aku tertawa lebih keras lagi.
"Kenapa pak irul tertawa sekaras itu", tanya ibu kos dan beberapa teman kostku serentak.
"Tadi aku udah tertawa, tapi gak ngerti apa yang ditertawakan. Sekarang tertawa lagi, tapi ud`h ngerti apa yang tadi ditertawai", jawabku jujur.
"Haaaa.... haaa.. haaa..... " mereka akhirnya ketawa juga.
"Haaaa.... haaa.. haaa..... " aku tertawa lebih keras lagi.
(Kenangan yang selalu menggoda saat Romadhon tiba, meski udah 22 tahun berlalu)
Catatan, kenapa aku nyatakan masjid tersebut menghormati dan menghargai perbedaan:
Setelah sholat tarawih dapat 8 rokaat, imam mundur dan duduk di kelompok kiri, digantikan imam dari kelompok 8 rokaat. Kelompok 8 rokaat melakukan sholat witir 3 rokaat, sedang jamaah yang 20 rokaat duduk dengan tenang. Setelah kelompok 8 rokaat selesai sholat witir dan do'a, mereka pulang. Kelompok 20 rokaat melanjutkan sholat taraweh hingga usai.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
DIABET PADA KAKI HARUSKAH DIAMPUTASI?
Amputasi adalah salah satu pilihan tata laksana pada kasus kaki diabetes. Namun, keputusan untuk melakukan amputasi tidak ...
-
Amputasi adalah salah satu pilihan tata laksana pada kasus kaki diabetes. Namun, keputusan untuk melakukan amputasi tidak ...
-
Medio Nopember 1990. Sunyi. Burung-burung tak lagi bernyanyi, monyet-monyet tak lagi teriak bersahutan dan melompat dari satu dahan ke d...
-
Awalnya senang juga ketika Agustus 2009 anak aq diterima di gontor putri I Sambirejo, Mantingan , Ngawi, Jawa Timur. Segala persyaratan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar